RIFAN FINANCINDO BANDUNG - Harga emas terpantau ditutup melemah pada perdagangan Rabu, di tengah melonjaknya imbal hasil (yield) obligasi pemerintah Amerika Serikat (AS) kemarin.
Merujuk data Refinitiv, harga emas ditutup di posisi US$
2.338,76 per troy ons, merosot nyaris 1% atau tepatnya 0,94% pada
perdagangan Rabu kemarin. Ini adalah pelemahan pertama dalam empat hari
terakhir. Dalam tiga hari sebelumnya, harga emas selalu naik dengan
penguatan mencapai 1,4%.
Pada Kamis pagi hari ini (30/4/2024), koreksi harga emas sepertinya
akan berlanjut meski masih cenderung tipis. Per pukul 06:00 WIB, harga
emas global turun tipis 0,04% ke posisi US$ 2.337,88 per troy ons.
Dolar AS yang kembali perkasa disertai dengan melonjaknya yield obligasi pemerintah AS (US Treasury) membuat emas berbalik arah ke zona merah kemarin.
Indeks dolar AS (DXY) pada perdagangan Rabu kemarin terpantau
menguat 0,49% menjadi 105,12, dari sebelumnya pada Selasa lalu di angka
104,61. Indeks dolar ada di posisi tertinggi sejak 15 Mei 2024.
Sedangkan yield Treasury acuan tenor 10 tahun pada perdagangan kemarin mencapai 4,616%, menjadi yang tertinggi sejak awal 30 April 2024.
Kenaikan imbal hasil US Treasury dan dolar Amerika Serikat (AS)
berdampak buruk buat emas. Penguatan dolar membuat harga emas semakin
mahal saat dibeli karena ada konversi ke dolar AS sehingga pembeli pun
menahan diri. Emas juga tidak menawarkan imbal hasil sehingga kenaikan
imbal hasil US Treasury membuat emas kurang menarik.
Yield Treasury kembali naik setelah lelang obligasi 5 tahun
oleh Departemen Keuangan AS senilai US$ 70 miliar menunjukkan permintaan
yang rendah. Rasio bid-to-cover, yang merupakan ukuran permintaan yang diawasi dengan ketat, berada pada angka 2,3, di bawah rata-rata 10 lelang sebesar 2,45.
Kenaikan yield Treasury dan dolar AS juga terjadi karena investor mempertimbangkan keadaan perekonomian Negeri Paman Sam.
Investor juga mempertimbangkan bagaimana keadaan perekonomian dan
menunggu data ekonomi baru yang dirilis sepanjang pekan ini yang dapat
menjadi masukan bagi pengambilan kebijakan bank sentral AS (Federal
Reserve/The Fed).
"Kami mengalami sedikit pemulihan pada indeks dolar. Selain
itu, para pembicara The Fed baru-baru ini bersikap cukup hawkish. Imbal
hasil obligasi pemerintah terus meningkat. Jadi banyak hambatan yang
membebani pasar," kata Phillip Streible, kepala pasar sekaligus ahli
strategi di Blue Line Futures, dikutip dari Reuters.
Presiden The Fed Minneapolis, Neel Kashkari mengatakan pada
Selasa lalu bahwa The Fed harus menunggu kemajuan signifikan dalam
inflasi sebelum memangkas suku bunga.
Para investor hingga kini sedang menantikan rilis data inflasi pengeluaran konsumsi pribadi (Personal Consumption Expenditure/PCE)
AS periode April 2024, ukuran inflasi pilihan The Fed, yang akan
dirilis pada Jumat besok untuk mendapatkan lebih banyak isyarat mengenai
waktu dan skala penurunan suku bunga.
Pasar memperkirakan inflasi PCE AS kali ini kembali mengalami kenaikan sebesar 0,3% pada bulan lalu, berdasarkan survei Reuters, menjaga laju tahunan di 2,8%, dengan risiko ke sisi negatifnya.
Namun baru-baru ini, data ekonomi yang lebih kuat dan kekhawatiran
baru mengenai potensi penurunan belanja konsumen telah mengurangi
prospek suku bunga.
"Data PCE yang lebih tinggi dari perkiraan, yang meningkatkan
prospek suku bunga AS yang lebih tinggi untuk jangka waktu yang lebih
lama, mungkin memaksa emas untuk menguji ulang angka psikologis US$
2.300 untuk mencari dukungan," kata Han Tan, kepala analis pasar di
Exinity Group, dilansir dari Reuters - RIFAN FINANCINDO
Sumber : cnbcindonesia