PT RIFAN FINANCINDO BERJANGKA BANDUNG - Baru sebentar harga emas mencicipi level US$ 1.800/troy ons. Kini
rasanya si logam kuning mau dibanting lagi. Harga emas di pasar spot
mulai tampak melandai.
Pada perdagangan Kamis pagi, harga bullion turun
0,14% ke US$ 1.801,86/troy ons. Harga emas terus turun. Rekor
tertingginya pun selalu lebih rendah dari rekor-rekor sebelumnya.
Pemicu utama turunnya harga emas belakangan ini adalah kenaikan imbal
hasil obligasi pemerintah AS. Dalam waktu singkat imbal hasil naik
secara pesat. Per Desember tahun lalu imbal hasil masih di bawah 1%.
Kini sudah menyentuh 1,3%.
Kenaikan imbal hasil ini turut menekan harga emas yang termasuk aset
non-produktif mengingat tak memberikan imbal hasil apapun. Emas tidak
seperti saham yang memberikan dividen maupun obligasi yang memberikan
kupon.
Keuntungan dari seorang investor dalam memegang emas hanya dari
pergerakan harganya saja di pasar. Oleh karena itu minat investor
terhadap emas sangat ditentukan oleh biaya peluangnya (opportunity
cost).
Saat imbal hasil surat utang yang tergolong aman seperti US Treasury
naik maka opportunity cost memegang emas ikut naik. Di situlah emas
menjadi kurang menarik dan dilego investor. Harganya pun turun.
Secara historis emas juga dijadikan sebagai mata uang. Pasokan emas
yang cenderung stabil dibanding mata uang fiat yang bisa dicetak
kapanpun dan berapapun jumlah oleh bank sentral membuatnya lebih cocok
digunakan sebagai aset untuk lindung nilai dari inflasi.
The Fed yang masih menerapkan kebijakan 'cetak duit' dikhawatirkan
bakal memicu terjadinya inflasi yang tinggi. Likuiditas di AS yang
berlimpah dan pembukaan kembali aktivitas ekonomi dikhawatirkan bakal
menimbulkan inflasi tinggi.
Sebagai informasi jumlah uang beredar (M2) di AS per Desember 2020
mencapai US$ 19 triliun. Nilainya naik 25% (yoy) dari tahun sebelumnya
yang hanya US$ 15 triliun. Namun bos The Fed Jerome Powell menegaskan
bahwa inflasi masih rendah.
yang merupakan sasaran target bank sentral. Dua hari ini
Powell memang dijadwalkan untuk memberikan testimoni di hadapan Komite
Perbankan Senat AS.
Dalam forum tersebut ada beberapa anggota Senat yang menyoroti
kebijakan The Fed dalam memompa likuiditas. Salah satunya adalah Warren
Davidson yang mempertanyakan kenaikan pasokan uang akan memicu devaluasi
dolar AS serta memicu inflasi yang tinggi.
Powell pun menjawab bahwa seiring dengan berjalannya waktu, korelasi
antara jumlah uang beredar (M2) dengan inflasi sangatlah rendah. Ketika
M2 tumbuh 25% (yoy), inflasi masih berada di 1,4% (yoy).
Inflasi akan meningkat ketika pasokan uang semakin banyak tapi untuk
jangka panjang dan tak akan berubah dalam satu malam. Kurang lebih
begitulah yang dikatakan oleh Powell.
Ketakutan inflasi yang tinggi pun mendapat sorotan dari berbagai
pihak. Salah satunya adalah anggota Kongres dari Partai Republik. "Baik
itu GameStop, Bitcoin, real estat, komoditas, kami melihat harga aset
yang cukup tinggi dan tanda-tanda inflasi," kata Senator Republik Pat
Toomey.
Powell pun merespons bahwa untuk saat ini fokus utama adalah
mengembalikan ekonomi di jalurnya. Untuk sampai ke sana uluran tangan
bank sentral masih diperlukan. Apalagi saat ini kondisi pemulihan
ekonomi juga tidak terjadi secara merata.
Kendati laju vaksinasi di AS tembus 1,5 juta orang per hari dan kasus
Covid-19 turun, banyak masyarakat yang masih menderita. Ada 10 juta
pekerjaan yang hilang saat krisis kesehatan tersebut membuat kebijakan
karantina wilayah diterapkan termasuk di AS.
Wajar sebenarnya jika Powell membawa-bawa isu ketenagakerjaan karena
The Fed diberi dua mandat utama (dual mandate) yaitu memaksimalkan
serapan tenaga kerja dan menjaga stabilitas harga.
Mengingat inflasi masih rendah dan di bawah target bank sentral dan
risk appetite investor tetap tinggi, harga emas pun tertekan. Emas harus
mengalami perubahan nasib dari yang tadinya primadona sekarang justru
ditinggalkan - PT RIFAN FINANCINDO BERJANGKA
Sumber : cnbcindonesia.com