RIFAN FINANCINDO BANDUNG - Krisis energi kini melanda China. Setidaknya 20 provinsi mengalami kekurangan pasokan listrik.
Para pekerja diminta menaiki tangga di pabrik bukan lift atau
elevator, produsen dipaksa memotong waktu produksi secara drastis,
sementara rumah tangga mengalami pemadaman listrik berhari-hari. Krisis
ini membuat pihak berwenang China khawatir dan bisnis panik.
Hal ini diyakini bisa mempengaruhi pemulihan ekonomi China.
Sektor-sektor intensif energi seperti produksi logam dan semen
diperkirakan menjadi salah satu yang paling terpukul.
Pabrik-pabrik ini takut tak bisa memenuhi pesanan yang membludak
menjelang akhir tahun. Kepala Kadin China bagian Selatan bahkan
mengatakan anggotanya mulai mengandalkan generator diesel untuk
beroperasi.
Lalu mengapa ini terjadi?
Setidaknya ada beberapa hal yang menyebabkan ini terjadi. Meskipun
tenaga batu bara menyumbang sekitar 70% listrik China, ada kekurangan
investasi yang terjadi dalam bahan bakar.
Seperti diketahui, Beijing perlahan-lahan menutup tambang batu bara
dan pembangkit listrik tenaga uap batu bara (PLTU) karena alasan
lingkungan. Tetapi gangguan lain muncul.
Jika dilihat, sebenarnya pasokan domestik di negara itu berasal dari
Provinsi Shanxi, Shaanxi serta Mongolia Dalam. Namun sejumlah hal
membuat pasokan di wilayah penghasil batu bara tak berjalan lancar.
Di Mongolia Dalam misalnya, kampanye anti korupsi di industri baru
bara keras disuarakan sejak tahun lalu dan mengganggu pasokan. Sementara
di Shaanxi, tambang-tambang ditutup seiring dengan peringatan 100 tahun
Partai Komunis dan pertandingan nasional China yang membuat pemerintah
daerah berupaya memunculkan citra "langit cerah".
Belum lagi banjir yang baru-baru ini menghantam wilayah itu. Hujan
deras dan banjir menghantam tambang-tambang batu bara di Shanxi dan
Shaanxi.
Mengutip Biro Manajemen Darurat provinsi, sebagaimana dimuat CNN International,
hujan lebat memaksa penutupan 60 tambang batu bara di provinsi di mana
seperempat dari produksi 'emas hitam' dihasilkan. Sekitar 1.900 bangunan
hancur dan 1,75 juta warga terkena dampak.
Masalah tumpeng tindih kebijakan juga menjadi alasan lainnya. Tahun
ini China meningkatkan hukuman bagi penambang yang gagal memenuhi
pedoman keselamatan yang membuat para bos baru bara enggan memperluas
produksi.
"Kurang koordinasi," kata seorang mitra di Plenum China Research, ditulis Financial Times.
Arahan lain juga terkait strategi pemerintah pusat menurunkan
konsumsi dan intensitas energi tak ramah lingkungan. Dalam pidato di PBB
Xi Jinping bahkan membuat janji iklim dramatis soal ini.
Provinsi pun akhirnya berlomba-lomba memenuhi target ini dengan
membatasi pembiayaan untuk pembangkit listrik dengan konsumsi energi
tinggi. Provinsi yang gagal memenuhi target direspon dengan penjatahan
penggunaan listrik.
Hal ini pun ditambah dengan harga batu bara yang mulai tinggi,
seiring kelangkaan energi gas di benua lain yakni Eropa. Harga gas yang
melambung dan jumlah yang langka membuat batu bara terkerek naik.
Pasokan domestik menyumbang 90% dari konsumsi batu bara China tapi
gangguan impor sangat berpengaruh. Perseteruan dengan Australia, sumber
mayoritas batu bara China, karena asal usul Covid-19 juga jadi masalah
lain.
"Sanksi (Australia) dan banjir di Indonesia serta wabah pandemi di
Mongolia juga berkontribusi pada melemahnya impor batu bara China tahun
ini," kata peneliti HIS Markit Lara Dong menjelaskan sumber-sumber impor
batu bara Tirai Bambu.
Lalu bagaimana energi terbarukan?
Konsultan energi di Lantau Group mengatakan energi terbarukan belum
bisa mencapai skala cukup untuk menggantikan batu bara. Kurangnya hujan
juga mengganggu pembangkit listrik tenaga air - RIFAN FINANCINDO
Sumber : cnbcindonesia.com